KASUS BESIPAE : VIKTOR B. LAISKODAT TIDAK BERSALAH ???

      Jauh sebelum Indonesia merdeka, Kolonial Belanda sudah melirik kawasan Hutan Adat Pubabu milik masyarakat adat yang terdiri dari Vetor Nubuasa, para Amaf (Tuan-tuan adat), dengan menetapkan kawasan hutan tersebut dengan luas wilayah 2.674,4 hektar menjadi hutan adat. Bukti sejarah yang menjadi landasan kuat masyarakat dalam mempertahankan tanahnya. Selain ada perhatian dari Pemerintah Kolonial Belanda, jauh sebelumnya tradisi adat turun temurun dalam menjaga lingkungan hutan adat menjadi suatu keharusan. Sebut saja seperti upacara "onem tfe kio" atau disebut juga berdo'a buka larangan. Setelah Indonesia merdeka 17 agustus 1945 hak tanah dari masyarakat adat kian menipis dengan canpur tangan negara (masa Orba) dalam mengelolah hutan adat tersebut. Hadirnya Negara inilah memicuh konflik yang berkepanjangan antara masyarakat adat Pubabu-Besipae dikecamatan Amanuban Selatan, kabupaten TTS dengan pemerintah propinsi NTT harus menjadi perhatian dari semua pihak. Melihat dari rentetan peristiwa yang terjadi, sebenarnya konflik klaim tanah sepihak dari pemerintah NTT sudah terjadi sejak tahun 1987 dimasa kepemimpinan Gubernur Dr. Ben Mboi dengan  masa bakti 1978 – 1988. Kebijakan yang dilaksanakan adalah Operasi Nusa Makmur ( ONM ), Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Sehat ( ONS ), dan Operasi Bedah Desa ( OBD ), suatu kebijakan yang sangat luar biasa namun dimasa Kepemimpinan beliaulah bola panas isu Besiapae berawal yaitu dari tahun 1982.  Sejak itu Asing mulai menggrogoti lahan adat masyarakat, yang berakhir  kontrak kerjasama dengan pemerintah Negara Australia dalam proyek percontohan intensifikasi peternakan selama lima tahun dari tahun 1982. Proyek dalam kurun waktu lima tahun itupun berjalan lamban hingga program tersebut dialihkan kedinas kehutanan. Ditahun 1987 Dinas Kehutanan melaksanakan program GERHAN (Gerakan Rehabilitasi Hutan) yang melibatkan 4 desa yaitu didesa Polo, Mio, Oe Ekan dan Eno dengan luas area yang dimanfaatkan mencapai kurang lebih 6000 ha yang masih dalam kepemimpinan Sang Dokter..Begitupun ditahun 1988 masa masa berakhir kepemimpinannya Sang Dokter membuat program GERHAN  ini dikawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk tanaman komoditas seperti Jati, Mahoni dengan skema HGU (hak guna usaha) yaitu status ini membuat pemerintah memberikan hak penggunaan lahan kepada pihak lain dengan jangka waktu tertentu dari tahun 1988 hingga 2008. Namun sayangnya program ini dilaksanakan tanpa ada persetujuan dari masyarakat. Ditahun 1998 kepemimpinan berganti ditandai Dinas Kehutanan secara sepihak mengeluarkan register tanah kehutanan (NTK) Nomor 29 yang ditanda tangani oleh Gubernur NTT pada waktu itu Piet Alexander Tallo, SH dan termuat dalam berita tata batas Negara yang memasuki kawasan hutan Pubabu-Besipae seluas 1050 ha yang mengakibatkan hutan menjadi gundul.  Piet Alexander Tallo, SH dengan masa bakti dua priode dari tahun 1999 – 2003, 2003 – 2008. Kebijakan yang dilaksanakan yaitu program Tiga Batu Tungku, Ekonomi Rakyat, Kesehatan Rakyat, dngan mottonya mulailah membangun dari apa yang dimiliki rakyat dan apa yang ada pada rakyat. Suatu kebijakan yang harusnya sangat merakyat  namun sayangnya aplikasinya jauh dari harapan, bukti  dengan sepihaknya menandatangani register tanah kehutanan tanpa mempertimbangkan dampak yang akan datang.                                                                                                                                                                         
                        Ditahun 2007 masih dalam kepemimpinannya Piet Alexander Tallo, SH Dinas Kehutanan yang awalnya kontroversi tersebut lalu menetapkan area tersebut sebagai Hutan Negara dengan fungsi hutan lindung dengan programnya Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Areal hutan yang dipergunakan dalam program tersebut meliputi hutan Koa, yang meliputi empat lokasi yaitu kawasan hutan Koa, Besipae, Desa Linumnutu dan Desa Mio. Dimana kawasan hutan adat tersebut tercatat dalam register tanah kehutanan (NTK) yang ditandatangani oleh Gubernur NTT dengan luas 2.900 ha. Dan pada tahun 2008 yaitu dimasa berakhir kepemimpinannya  program GERHAN ini dilanjutkan oleh Dinas Kehutanan diareal yang sama. Ditahun yang sama masyarakat adat melakukan penolakan perpanjangan HGU suatu penolakan yang sangat berani dalam program GERHAN karna selain kontrak HGU sudah berakhir juga karna memang banyak aktivitas pembabatan hutan dalam program GERHAN yang telah menyebabkan keringnya sumur sumur disekitaran kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat untuk kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini berdampak buruk selain keringnya sumber air dan populasi hewan buruan, masyarakat juga dilarang memasuki kawasan hutan walaupun hanya sekedar mengambil ranting kering untuk kayu bakar dan pakan ternak. Lebih parahnya dimasa akhir kepemimpinan beliau, pola yang sama yaitu para pejabat selalu memanfaatkan dimasa masa pertukaran kepemimpinan yaitu  pada tanggal 12 April 2008 terjadi pembabatan hutan Besipae diDesa Pollo dan Desa Linamnutu, kecamatan Amanuban Selatan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten TTS dengan alasan  melalui program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan yang menyebabkan terjadinya kekeringan didua desa yaitu Pollo dan Linamnutu.
                         Masyarakat adat Besipae tidak tinggal diam, tepatnya pada tanggal 16 Januari 2009 yaitu masanya Frans Lebu Raya dengan masa bakti 2008 – 2013, 2013 – 2018 dengan kebijakan yang dilaksanakan adalah Anggur Merah, dengan mottonya yaitu sehati sesuara membangun NTT baru menjadi awal gerakan masyarakat kian meluas hingga berani melaporkannya ke KOMNAS HAM Jakarta. Mengutus tujuh orang masyarakat yang mewakili masyarakat adat Besipae diantaranya Raison Taopan, Nikodemus Manao, Marthen Tanono, Paulus Selan, Benyamin Selan, Daud Selan dan Lefinus Neolakan melaporkan kejadian ini ke komisi nasional HAM Jakarta.  Tahun 2011 organisasi pun berdiri dari masyarakat adat Pubabu-Besipae yang bergabung dalam ikatan tokoh adat pencari kebenaran dan keadilan membuat surat pembatalan perpanjanganan kontrak Dinas Peternakan propinsi NTT diinstansi Besipae dengan Nomor surat : 03/ITAPKK/II/2001. Ditahun yang sama pada tanggal 6 april Komnas HAM RI mengeluarkan surat dengan Nomor : 873/K/PMT/IV/2011 prihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae diKabupaten TTS  yang isi suratnya yaitu :
1) Menjaga agar situasi aman dan kondusif didalam masyarakat dan menghindari adanya intimidasi sampai adanya solusi penyelesaiannya
2) Menjaga agar kawasan hutan tetap lestari 
3) Menghentikan untuk sementara, kegiatan Dinas Peternakan Propinsi NTT dan Dinas Kehutanan Kabupaten TTS dilahan yang bermasalah sampai ada penyelesaian.
4) Bahwa KOMNAS HAM akan menidaklanjuti pengaduan ini dengan melakukan pemantauan kelokasi dan melakukan mediasi kedua belapihak.
                       Ditahun berikutnya 2012 masih dalam kepemimpinan Frans Lebu Raya tepatnya bulan November tanggal 9 KOMNAS HAM RI mengeluarkan surat dengan Nomor : 270/K/PMT/XI/2012 prihal permasalahan hutan masyarakat adat Pubabu-Besipae dengan pemerintah  Kabupaten TTS yang isinya :
1) Mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Propinsi NTT yang berakhir pada tahun 2000 kepada warga untuk dikelola demi menghidupi keluarganya
2) Mengevaluasi UPTD (unit pelaksana teknis daerah) Propinsi NTT dan program Dinas Peternakan yang melibatkan warga yang dimana pada kenyataannya program tersebut tidak mengembangkan warga tapi justru membebani warga.
Ditahun 2013 masih dalam pemerintahan Frans Lebu Raya  menerbitkan sertifikat Hak pakai sebagai dasar atas kepemilikan lahan hutan adat Pubabu-Besipae. Hal inilah yang memicuh konflik semakin memanas karna pada tahun 2011 masyarakat ITAPKK (ikatan tokoh adat penegak kebenaran dan keadilan) telah mengirim surat pembatalan perpanjangan kontrak diDinas Peternakan Propinsi NTT, suatu kebijakan yang tidak mendengarkan pihak rakyat.
                        Lima tahun berselang, pada tahun 2017 pola yang sama dimasa peralihan kepemimpinan dengan konflik yang bertambah parah karna pemerintah Daerah Propinsi NTT melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu-Besipae dengan berbagai trik diantaranya dengan mengerakan Polisi Pamong Praja, Dinas Peternakan Propinsi dan UPT Dinas Peternakan TTS yang dikawal Kepolisian Daerah NTT mendatangi masyarakat sekitar pukul 15:00 wita dengan membawah surat bernomor : BU030/105/BPPKAD/2017 dengan prihal suratnya yaitu penegasan tentang tanah instalasi Besipae milik pemerintah Propinsi NTT dan memerintah masyarakat adat setempat untuk segara mengosongkan lahan dengan alasan bahawa tanah adalah milik atau aset daerah NTT. Atas dasar sertifikat Hak Pakai yang diterbitkan gubernur sebelumnya Frans Lebu Raya dengan  Nomor : 001/2013-BP 794953 tanggal 19 maret 2013 dengan luas 37.800.000 m2. Atas dasar surat tersebut, ketidakterimaan masyarakat adat Besipae terhadap pihak pemerintah membuat konflik makin memanas, intimidasipun tak terelakan lagi. Diawal tahun 2020 masanya Bapak Viktor B. Laiskodat tepatnya 17 Februari intimidasi pihak aparat terhadap masyarakat dengan melakukan penggusuran terhadap tiga kepala keluarga yang membuat konflik semakin parah. Pemerintah tidak tinggal diam hari berikutnya Bupati TTS melakukan kunjungan kearea penggusuran dan berjanji memberikan bantuan kepada korban penggusuran namun sayangnya masyarakat dengan tegas menolak. Pemerintah propinsi pun hadir tiga bulan kemudian yaitu pada hari selasa 12 Mei 2020 Gubernur NTT, Bupati TTS dan rombongannya datang dari arah Kolbano menuju Batu Putih, ketika sampai diPubabu Gubernur dan rombongannya berhenti dan berjalan kelokasi perumahan masyarakat. Dengan ekspresi marah-marah namun beberapa media juga memberitakan ekspresi Pak Viktor bukan marah marah namun penuh kesabaran meminta masyarakat untuk membuka pagar kompleks perumahan mereka namun masyarakat menolak dan melakukan perlawanan. Sayangnya karna tidak mempunyai kekuatan yang seimbang karna rombongan Gubernur mempunyai aparat Kepolisian dan Brimob malah dengan spontan Ibu-ibu melakukan aksi buka baju sebagai bentuk penolakannya. Masyarakat pun terpaksa harus berdialog dengan Gubernur yang awalnya mereka tolak. Dalam dialog tersebut masyarakat meminta Gubernur untuk segera menyelesaikan konflik tanah adat mereka yang sudah terbengkalai selama 12 tahun, terutama soal kejelasan status tanah setelah dipinjam pakai untuk proyek percontohan intensifikasi peternakan kerjasama kerjasama pemerintah Propinsi NTT dengan Negara Australia. Ditanggal 4 agustus konflik bertambah parah, masyarakat Besipae dengan segala kelemahnnya bersumpah atas nama adat langsung memakan tanah tanah saat Rumahnya  dibongkar paksa oleh pihak Pol PP Pemprof  menjadi tontonan yang menyedihkan.
                      Kini koonflik Hutan Adat pun kian memanas antara masyarakat adat dengan  Pemerintah Propinsi dan pihak Kepala Daerahnya sendiri yang membuat resah berbagai kalangan dari akademisi hingga masyarakat umum. Demontrasi besar ditanggal 13 agustus 2020 didepan kantor DPRD Propinsi NTT dan berselang beberapa hari demonstrasi juga dilakukan dipusat ibu kota Jakarta dari kalangan muda terkait kekacauan diBesipae hingga pelaporan pelanggaran HAM ke pengadilan pun tak dihiraukan oleh pihak Pemprof. Ketidak percayaan publik terhadap penerapan kasus hukum diBesipae karna dari awal pembabatan hutan hingga pelaporan pembongkaran rumah oleh Satpol PP tidak ada titik terang sama sekali. Kini terjadi lagi bentrok masyarakat dengan pegawai pemprof maupun masyarakat dengan masyarakat yang disinyalir diadudomba oleh pemerintah sendiri. Terjadinya peristiwa yang sangat tidak manusiawi ini terjadi pada tanggal 15 Oktober. Demonstrasi pun terjadi lagi ditanggal yang bersamaan, dan yang jelas berkas kasus pelanggaran diBesipae pun kian menumpuk. 
                        Jika dilihat dari rentetan kasus Besipae yang selalu digaungkan oleh kaum muda dijalanan menjadi bukti peran pemuda tidak bisa dianggap remeh oleh pemerintah sendiri, jelas bonus demografi yang dari awal sudah digambarkan bahwa akan terjadinya penumpukan pemuda menjadikan suara dari kaum muda harus diperhitungkaan dalam menerapakan suatu kebijakan. Ketimpangan sosial yang membuat jiwa muda kaum pergerakan yang rata rata masi berusia emas dalam bersuara harus segera diakomodir oleh pemerintah sendiri karna jika tidak diakomodir maka era bonus demografi ini akan menjadi kacau bahkan terjadinya bentrokan antar pihak keamanan dan kaum muda seperti terjadi kota kota besar lainnya di Indonesia. Menurut hemat penulis Indonesia belum sepenuhnya secara politik sangat tidak siap menghadapi Bonus Demografi ini apalagi NTT yang notabenenya propinsi paling tertinggal diIndonesia jelas sangat tidak bisa. Dengan melihat rentetan peristiwa sejarah dalam konflik Besipae dan gerakan kaum muda kekinanan menurut hemat Penulis  kasus Besipae harus dijelaskan setransparan mungkin akan dosa-dosa atau pun kesalahan Pemimpin terdahulu kepublik dan yang menjadi tanggung jawabnya yaitu Pengadilan sekarang dengan seadil-adilnya, dan juga pemerintahan sekarang juga jangan membuat kasus ini terus bergentayangan, kita sebagai masyarakat maupun akademisi menginginkan keadilan seutuhnya.Untuk itu penulis menghimbau supaya lakukan pendekatan Sosial kemasyarakatan dan juga pendekatan hukum seadil-adilnya.
                                               

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WALIKOTA KUPANG : SEMPROT DPR

ANTARA OJEK DAN AKTIVIS